Laman, tokoh masyarakat adat Talang Mamak, berjalan perlahan menembus semak belukar pedalaman Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, akhir pekan lalu.
Pria berusia 90 tahun itu menyusuri jalan setapak menuruni bukit menuju sebuah gubuk di padang lapang. Bangunan itu terlihat tidak terawat, hanya menyisakan rangka kayu tanpa lantai dan atap.
Lelaki bersorban itu menatap gubuk reyot itu sebentar dan beralih ke pemandangan di sekelilingnya yang gundul dan gersang.
Raut kesedihan tiba-tiba terlihat jelas di wajahnya yang penuh keriput. Ia kini tampak sangat lemah dan tak berdaya. Laman berjalan lunglai dan bertopang ke tiang gubuk, yang dahulu adalah benteng buatannya untuk melindungi hutan adat (Rimba Puaka) Talang Mamak dari para perambah. "Lebih baik saya mati ditembak, daripada hutan adat habis," teriak Laman dengan nada penuh kesedihan.
Masyarakat adat Talang Mamak merupakan suku asli Indragiri Hulu dengan sebutan "Suku Tuha" yang berarti suku pertama datang dan lebih berhak atas sumber daya alam.
Asal muasal Talang Mamak sulit dipastikan karena ada dua versi. Versi pertama, berdasarkan penelitian seorang Asisten Residen Indragiri Hulu di zaman Belanda, menyebutkan, Suku Talang Mamak berasal dari Pagaruyung, Sumatera Barat, yang terdesak akibat konflik adat dan agama. Versi kedua merupakan cerita yang akrab di dalam masyarakat adat itu.
Secara turun-temurun, masyarakat bercerita bahwa Talang Mamak merupakan keturunan Nabi Adam ke tiga. Cerita itu diperkuat bukti berupa tapak kaki manusia di daerah Sungai Tunu Kecamatan Rakit Kulim, Indragiri Hulu. Jejak itu diyakini sebagai tapak kaki tokoh masyarakat adat Talang Mamak.
Keberadaan Talang Mamak sejak dulu sangat bergantung pada hutan. Lingkungan tempat mereka hidup diatur melalui hukum adat, dan keputusan pengelolaannya diatur oleh seorang Patih yang merupakan simbol kekuasaan tertinggi Talang Mamak di bawah Kesultanan Indragiri.
Ada pepatah kuno dalam masyarakat Talang Mamak: "Lebih baik mati anak, daripada mati adat". Hal itu seakan menunjukan bahwa identitas Talang Mamak tak bisa lepas dari hutan yang dikelola dengan hukum adat.
Kearifan lokal itu mendapat penghargaan pemerintah dengan menganugrahi Laman sebagai penerima Kalpataru, penghargaan tertinggi di bidang pelestarian lingkungan, pada pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri tahun 2003.
Laman, yang saat itu masih menjabat Patih, dinilai berjasa dalam melestarikan hutan keramat (Rimba Puaka) Penyabungan dan Panguanan di Kecamatan Rakit Kulim seluas 1.813 hektare.
Masyarakat internasional juga ikut mengakui kearifan lokal Talang Mamak dan Laman pun mendapat "WWF Award" pada 1999 di Kinibalu, Malaysia.
Musnah
Namun, kini keadaan berbalik 180 derajat karena Rimba Puaka Talang Mamak telah luluh lantah, kondisi yang membuat Laman merasa tidak berdaya.
Laman mengatakan, kerusakan akibat perambahan mulai terjadi di Rimba Puaka Penyabungan dan Panguanan kira-kira setahun setelah dirinya mendapat Kalpataru.
Hutan itu yang dahulu lebat kini gundul dan berganti dengan tanaman kelapa sawit. Kini Laman mengaku tak ada lagi kebanggaan dirinya ketika melihat hutan adat Talang Mamak berpindah tangan dan hancur.
Andaikan tidak terkendala dana, Laman pasti sudah memulangkan Kalpataru ke Presiden. "Buat apa Kalpataru untuk pengganti hutan adat, lebih baik dipulangkan ke pemerintah," ujar Laman.
Ia mengatakan, perambahan Rimba Puaka tidak hanya terjadi pada Penyabungan dan Pangunanan.
Di kawasan lingkungan tempat tinggal Talang Mamak yang tersebar di Kecamatan Rakit Kulim dan Rengat Barat, sebetulnya terdapat empat kawasan Rimba Puaka, yakni hutan Sungai Tunu seluas 104,933 hektare, hutan Durian Cacar seluas 98.577 hektare, dan hutan Kelumbuk Tinggi Baner 21.901 hektare. "Semuanya sudah habis," katanya.
Perambahan hutan Sungai Tunu juga mengancam peninggalan leluhur Talang Mamak, tempat jejak tapak kaki leluhur suku itu.
Kawasan itu kini sudah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit PT Selantai Agro Lestari (SAL).
Meski tapak kaki peninggalan leluhur dibiarkan ada oleh perusahaan, masyarakat Talang Mamak tetap merasa terhina dan melakukan penolakan terhadap PT SAL sejak 2007.
Namun, protes itu tak mengubah keadaan dan ribuan sawit tetap tumbuh subur menggantikan hutan hutan alami. "Habis hutan, habislah adat," ujar Laman.
Gading (30), penerus gelar Patih di masyarakat Talang Mamak, mengakui bahwa kerusakan Rimba Puaka juga didalangi oleh oknum Patih Talang Mamak yang terdahulu.
Bersama oknum Kepala Desa Durian Cacar, tetua adat yang lama itu mengobral Rimba Puaka ke warga pendatang dan perusahaan. Oknum Patih itu kini sudah dicabut gelarnya dan diasingkan dari masyarakat Talang Mamak.
Namun, perjuangan masyarakat adat untuk mengambil kembali hak Rimba Puaka mereka tak pernah berhasil meski sudah menempuh jalur hukum.
Gading mengatakan, masyarakat Talang Mamak pernah menggugat PT Inekda ke pengadilan dan gagal. "Hakim mengakui hutan adat, tapi kami tetap kalah di persidangan. Seakan kami hanya diakui, tapi tidak dilindungi," ujar Gading.
Merana
Gading, yang kini juga menjabat sebagai Kepala Desa Sungai Ekok, mengatakan, masyarakat Talang Mamak hingga kini ibarat berada di bagian bawah roda pembangunan di Indonesia yang sudah puluhan tahun merdeka.
Jalan penghubung di tujuh desa tempat masyarakat Talang Mamak tinggal di Kecamatan Rakit Kulim, Indragiri Hulu, hingga kini masih berupa tanah yang berubah jadi kubangan lumpur setiap datang hujan.
Tidak ada tiang pancang di pinggir jalan untuk menghubungkan kabel listrik ke rumah warga yang mayoritas berbentuk panggung dan berdinding kayu.
Mencari warung ataupun pasar sama sulitnya dengan mencari puskesmas di tempat itu. Lebih mudah menemukan kaum pria dan perempuan tanpa pakaian penutup bagian atas tubuhnya di sana. "Kami bukan suku tertinggal, tapi sengaja ditinggalkan pemerintah," kata Gading.
Menurut dia, Talang Mamak sebetulnya adalah masyarakat yang memiliki potensi sumber daya alam karena hutannya yang luas.
Kawasan hutan Talang Mamak, lanjutnya, mencapai sekitar 48 ribu hektare dan sudah diakui sejak jaman penjajahan Belanda oleh Residen Indragiri pada 1925.
Kala itu warga Talang Mamak bisa hidup makmur dari hasil pohon karet dan menanam padi di ladang berpindah.
Namun kondisi kini berubah drastis, lanjut Gading, karena warga Talang Mamak tepaksa menjual getah karet lewat perantara empat tengkulak yang mengakibatkan harga jual sangat murah.
"Hasil panen karet yang melimpah hanya dihargai Rp 3.000 sampai Rp 4.000 per kilogram. Padahal harga di pabrik sudah mencapai Rp 14.000 per kilogram," ujarnya.
Gading mengatakan, sekitar 1.800 kepala keluarga masyrakat adat Talang Mamak, yang tersebar di delapan desa di Kecamatan Rakit Kulim dan Rengat Barat, mayoritas masih hidup miskin dan berpendidikan rendah.
Keberadaan belasan perusahaan kelapa sawit dan hutan tanaman industri di kawasan itu belum meningkatkan taraf hidup masyarakat adat Talang Mamak.
Ia juga mengatakan, masyarakat adat Talang Mamak sudah jengah dengan janji-janji para kepala daerah yang hanya rajin mengunjungi mereka sebelum pesta demokrasi pemilihan umum.
"Berulangkali pemilu dilewati, janji kepala daerah terucap, mengukur jalan katanya mau diperbaiki, tapi belum ada bukti. Talang Mamak seperti hanya dibutuhkan saat pemilu, selebihnya ditinggalkan," ujar Gading.
Peneliti masyarakat adat Melayu UU Hamidi mengatakan, Suku Talang Mamak secara historis sudah memiliki sistem pengelolaan sumber daya alam yang seharusnya bisa mensejahterakan mereka dari generasi ke generasi.
Talang Mamak, yang tergolong suku Melayu tua, menempatkan Rimba Puaka sebagai hutan simpanan yang terlarang untuk diperjualbelikan hingga untuk ditebang dan perburuan binatang juga terbatas.
Rimba Puaka berfungsi sebagai sumber untuk obat-obatan alami, dan penyangga penting bagi keberlangsungan ekosistem tanah perkebunan dan ladang mereka.
"Masyarakat adat dibantai sejak rezim Orde Baru dengan konsep perangkat desa dan pemberian izin HPH yang merusak aturan sosial dan hak terhadap hutan adat," ujarnya.
"Padahal masyarakat adat Melayu dari dulu sudah memiliki konsep paru-paru dunia, sebelum dirusak oleh pemerintah sendiri," lanjut Hamidi yang telah menulis 50 buku tentang masyarakat adat Melayu.
Ia mengatakan, kondisi masyarakat adat Malayu di Riau umumnya sangat merana akibat pemaksaan konsep perangkat desa yang membuat peran tokoh adat jadi terpinggirkan.
Tokoh adat seperti Laman dan Gading, kini berada dalam pilihan yang sulit untuk mempertahankan hukum adat mereka.
Menurut dia, seharusnya pemerintah tak perlu malu untuk berkaca pada kebijakan kolonial Belanda yang mengakui keberadaan hutan adat.
Ia mencontohkan ketetapan Residen Riau No 82 tanggal 20 Maret 1919, yang mengakui 26 rimba larangan dan padang gembala ternak di Kabupaten Kuantan Sengingi diberikan pada pemangku adat untuk dijaga kelestariannya. "Tapi setelah kemerdekaan, hutan adat itu semuanya sudah musnah," katanya.
Meski rezim pemerintah sudah berganti, lanjutnya, kebijakan pemerintah terhadap pemberdayaan masyarakat adat yang kerap dikatakan sebagai suku tertinggal belum juga berubah.
Bahkan, banyak masyarakat adat pernah dilabeli sebagai suku tertinggal. Program pemerintah terhadap tanah ulayat, kata Hamidi, selalu tidak mendahulukan dengan inventarisasi hutan adat yang perlu dilestarikan. Program pemberdayaan juga dinilai tak efektif karena lemahnya identifikasi masalah dan penyusunan skala prioritas.
"Saya pesimis pemerintah yang di belakangnya selalu ada cukong dan pemodal, dapat mempedulikan nasib masyarakat adat," ujarnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar