Gara-gara mencoba rokok milik kakeknya ketika berusia 2,5 tahun, Maulana, balita usia empat tahun ini jadi ketagihan merokok. Warga Dusun Sonosari, Desa Kebonagung, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang, ini sehari bisa menghabiskan tiga batang.
Tidak ada yang beda dengan penampilan Maulana, bocah lucu itu. Ia juga masih tetap bermain dengan teman sebayanya di rumah neneknya, Painah (48), yang berada di Jalan Cokroaminoto RT 46 RW 08, Dusun Sonosari, Desa Kebonagung, Kecamatan Pakisaji.
Namun, yang membuatnya beda, Maulana sudah doyan merokok. Padahal, biasanya merokok baru dilakukan oleh pria dewasa minimal usianya 17 tahun ke atas. Ikhwal kesukaan merokok ternyata dari coba-coba rokok milik kakeknya, Kusyanto (55).
“Katanya waktu itu hanya mencoba. Namun, ternyata sampai sekarang. Kalau saya pribadi, kasihan melihatnya masih kecil sudah merokok. Saya ingin cucu saya bisa sembuh dari kebiasaan itu,” kata Painah, nenek yang mengasuh Maulana karena ibunya, Lastri (35), sedang bekerja di PR Penamas, Pakisaji, ketika ditemui di rumahnya, Rabu (26/11).
Karena sudah kecanduan merokok, gerak tubuh Maulana sudah seperti orang yang mahir merokok. Ini bisa dilihat bagaimana cara dia membawa pak rokok berikut korek di atasnya. Begitu juga cara menghidupkan rokok, cara mengisap rokok dan menghembuskannya.
Ia bahkan bisa menghembuskan rokok dari hidungnya dengan piawai sehingga orang dewasa yang melihat hanya bertanya-tanya, kok bisa ya? Bagaimana nanti kesehatannya? Menurut Painah, cucunya sudah pernah diperiksakan ke Puskesmas Pakisaji. Namun, sejauh ini tidak ada gangguan apa-apa. Katanya, cucunya meski sudah merokok lagaknya orang dewasa, kalau sudah datang malam hari dan hendak tidur, ia juga mencari dot susu miliknya.
Tiap malam, sebelum tidur Maulana mengonsumsi salah satu merek susu terkenal. Namun, begitu bangun tidur ia sudah mulai bermain dengan rokoknya. Setelah mandi dan makan, Maulana, bungsu dari tiga bersaudara ini, sudah mulai menghidupkan rokoknya seperti orang dewasa.
“Namun, kalau sudah asyik bermain, ia seharian bisa tidak merokok,” ungkap Painah. Ia berharap ketika aktivitasnya mulai banyak, seperti ketika memasuki dunia sekolah (TK), cucunya tidak berpikiran lagi tentang merokok.
Lucunya, Maulana enggan mengonsumsi rokok dari merek-merek yang beredar. Ia hanya doyan rokok putih merek BMW produksi PT Gandum, Malang. Jika persediaan rokoknya habis, ia biasanya membeli di toko tetangganya.
Maulana sendiri ketika ditanya bagaimana rasa rokok yang dihisapnya, ia hanya bilang enak. Ketika merokok di kamar salah satu kakaknya, satu tangannya membawa rokok, satu tangan lainnya mencandai seorang anak kecil tetanggannya. Ya, layaknya ia main seperti balita lainnya. Bedanya, ada rokok di tangannya.
Painah menambahkan, ia dan anggota keluarga lainnya sudah berusaha agar Maulana tidak merokok lagi dengan cara melarangnya. “Namun, ya itu. Dia pasti akan membanting semua barang yang ada di rumah sehingga ia bisa merokok lagi,” ungkapnya. Ayah kandung Maulana, Suwarno, katanya tidak mengetahui kelakuan anaknya karena sudah berpisah dengan ibu Maulana. Suwarno dikabarkan sudah menikah lagi dan tinggal di Wagir, Kabupaten Malang.
Sementara itu, dr Susanto Adijono, Kepala Puskesmas Pakisaji, mengatakan, meski secara fisik si anak tidak mengalami kelainan/keluhan apa-apa, kondisi ini sudah patut diwaspadai karena anak sudah memasuki fase kecanduan. “Apa yang dilakukan si anak juga tidak lepas dari kesalahan orangtua. Namanya anak, begitu mencoba ternyata tidak dilarang, ya akan terus,” kata dr Susanto ketika dihubungi terpisah.
Karena itu, orangtuanya harus segera mengalihkan aktivitas si anak pada kesibukan dan melakukan pengawasan agar tidak melakukan kebiasaan merokok lagi. Apalagi, seperti dituturkan Painah, jika cucunya Maulana dilarang merokok justru marah-marah. Selain itu, ia berharap Maulana bisa diarahkan ke psikiater anak.
“Karena mungkin dia mengalami kondisi broken home, tetapi tidak terlihat karena masih anak-anak,” ujarnya. Menurutnya, yang jelas dari aktivitas merokok sejak dini, dari sisi kesehatan sangat mengkhawatirkan karena bisa mengancam jantung, pembuluh darah, dan paru-parunya. “Kalau si anak tidak bisa dituturi (dinasihatinya), ya butuh pengawasan ketat orangtua,” pungkasnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar