Setelah sempat dihilangkan, ayat tembakau dalam Pasal 113 Ayat (3) UU Kesehatan yang menjustifikasi tembakau sebagai zat adiktif, kini pengaturan pengendalian dampak merokok kembali diganjal.
Dengan dalih surplus ekonomi tembakau, ada kalangan yang menolak Rancangan Peraturan Pemerintah Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan yang disiapkan Kementerian Kesehatan. Padahal, isinya hanya melanjutkan perintah UU Kesehatan.
Ironisnya justru sektor nonkesehatan, seperti kementerian industri, perdagangan, dan pertanian, dengan dalih dan mitos ekonomi tembakau, menolak (sebut saja) RPP Rokok. Seakan menutup mata hati atas kerugian ekonomi dan biaya kesehatan yang mesti dibayarkan lewat APBN, dampak tembakau terhadap kesehatan yang terbukti berlipat kali.
Hasil studi Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Ekonomi Tembakau, dan studi Bank Dunia tentang tembakau telah meruntuhkan mitos manfaat ekonomi tembakau itu. Malah menciptakan rantai kemiskinan bagi kaum miskin.
Pengeluaran rokok bagi rumah tangga miskin mencapai Rp 117.624 per bulan, sedangkan pendapatan masyarakat miskin tertinggi kedua digunakan untuk membeli rokok, yaitu 12,4 persen dari pendapatan, sehingga dana untuk konsumsi gizi dan pendidikan tergusur.
Menurut Ketua Koalisi untuk Indonesia Sehat Prof dr Firman Lubis, keuntungan industri rokok sekitar Rp 13 triliun, sementara kerugian yang ditimbulkan mencapai Rp 42 triliun lebih. Kerugian itu dibayar lewat biaya kesehatan dalam APBN. Alhasil, uang rakyat ”tercuri” lewat konsumsi rokok yang eksploitatif.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar